Kejanggalan SP2HP Polres Lamongan: Terlapor Mangkir, Penyidik Diduga Lindungi Pihak Tertentu

admin

Unit11

LAMONGAN – Perjuangan seorang warga Lamongan dalam mencari keadilan atas kasus yang telah mandek selama dua tahun kini memasuki babak baru yang krusial. Alih-alih mendapatkan kejelasan, korban justru dihadapkan pada dugaan manipulasi fakta dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang dikeluarkan oleh penyidik Polres Lamongan. Bola panas kini berada di tangan Inspektorat Pengawasan Daerah (Irwasda) Polda Jatim untuk membuktikan integritas dan profesionalisme institusi Polri.

Pada tanggal 11 Agustus 2025, Satreskrim Polres Lamongan merilis SP2HP ke-7. Dalam dokumen resmi tersebut, penyidik menyatakan bahwa hambatan dalam penyelidikan adalah ketidakhadiran lima orang saksi yang telah diundang sebanyak dua kali. Namun, fakta di lapangan berbicara sebaliknya, memicu kecurigaan adanya upaya sistematis untuk menghambat laju perkara.

Menurut keterangan korban yang menempuh perjuangan ini seorang diri setelah mencabut kuasa dari pengacara sebelumnya, isi SP2HP tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.

“Faktanya, pada undangan pertama, saya bersama dua saksi lain, Afik dan Harsono, telah hadir dan memenuhi panggilan penyidik. Kami siap memberikan keterangan. Namun, anehnya kami tidak di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Satu-satunya saksi kunci / terlapor yang tidak hadir saat itu adalah Ongki Wijaya,” ungkap korban dengan tegas.

Kejanggalan berlanjut pada pemanggilan kedua, di mana Ongki Wijaya kembali mangkir dari panggilan penyidik. Dengan demikian, narasi dalam SP2HP yang menyebut “semua saksi tidak hadir” adalah sebuah kekeliruan fatal yang patut dipertanyakan motifnya.

Merasa ada yang disembunyikan, korban segera menghubungi penyidik yang menangani kasus ini, Briptu Ivan dari Polres Lamongan, untuk mengajukan keberatan. Dalam konfirmasinya, Briptu Ivan membenarkan kehadiran tiga saksi pada panggilan pertama, namun berdalih bahwa kehadiran tersebut “tidak lengkap”. Alasan ini dinilai tidak substantif dan justru memperkuat dugaan bahwa ada pihak tertentu yang sengaja dilindungi dengan cara mengulur waktu penyelidikan.

“Ketika saya tanyakan mengenai rencana penyelidikan lebih lanjut yang tertulis di SP2HP, diam, tidak ada jawaban yang saya dapat. Sudah dua tahun kasus ini jalan di tempat. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi terkesan ada kesengajaan untuk membiarkan kasus ini menguap,” tegasnya.

Tidak mau perjuangannya sia-sia, korban mengambil langkah strategis dengan melaporkan seluruh kronologi dan bukti kejanggalan ini langsung kepada Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum (Wadirkrimum) Polda Jatim, yang ditembuskan kepada jajaran pengawas internal, termasuk Kompol Khoiril dari Wassidik Polda Jatim. Laporan tersebut direspons dengan baik.

“Bapak Kompol Khoiril merespons laporan saya dan menginformasikan bahwa akan segera diadakan Gelar Perkara Khusus (GPK) di Polda Jatim. Pemberitahuan resmi akan disampaikan melalui Polres Lamongan,” jelasnya.

GPK merupakan mekanisme penting untuk menguji profesionalisme penanganan suatu perkara, mengoreksi arah penyidikan yang keliru, dan memastikan tidak ada intervensi yang menghalangi proses hukum. Langkah Polda Jatim ini menjadi secercah harapan di tengah kebuntuan yang terjadi di tingkat Polres.

Kini, publik menanti realisasi dari janji tersebut. Apakah Gelar Perkara Khusus ini akan mampu membongkar dugaan persekongkolan antara oknum penyidik dengan saksi kunci yang terus mangkir? Ataukah ini hanya akan menjadi prosedur formalitas tanpa hasil yang signifikan?

Perjuangan tanpa lelah seorang warga ini menjadi pertaruhan besar bagi citra Polri, khususnya Polda Jatim dan Polres Lamongan, dalam membuktikan bahwa hukum tidak pernah tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

(By)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *