Ragam  

Peringatan G30S/PKI: Antara Ingatan Sejarah dan Luka yang Tak Pernah Sembuh

admin
Img 20250930 wa0068

DELIKJATIM86.Com/LAMONGAN – Setiap tahun, tanggal 30 September menjadi momen yang sarat makna bagi bangsa Indonesia. Pemerintah mengimbau pengibaran bendera setengah tiang sebagai bentuk penghormatan terhadap para Pahlawan Revolusi yang gugur dalam tragedi Gerakan 30 September 1965. Namun, di balik ritual nasional ini, muncul pertanyaan yang semakin menggema di kalangan akademisi, aktivis, dan generasi muda: apakah peringatan ini masih relevan, atau justru memperpanjang luka sejarah yang belum sembuh?

Bagi generasi muda, peringatan G30S/PKI sering kali menjadi pengalaman yang membingungkan. Film dokumenter lawas yang diputar ulang, narasi heroik yang disampaikan secara sepihak, dan minimnya ruang diskusi kritis membuat mereka tumbuh dengan pemahaman sejarah yang parsial.

“Sejarah itu seharusnya membuka ruang berpikir, bukan menutupnya,” ujar Raka, mahasiswa sejarah di Yogyakarta. “Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya versi yang disusun oleh rezim masa lalu.”

Meski ada sisi positif berupa edukasi tentang bahaya ekstremisme ideologi, banyak anak muda merasa bahwa peringatan ini lebih menyerupai propaganda daripada refleksi sejarah. Mereka merindukan pendekatan yang lebih akademis, terbuka, dan berimbang.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, banyak masyarakat yang mulai bersikap apatis terhadap peringatan G30S/PKI. Bagi sebagian besar warga, tanggal 30 September hanyalah hari biasa yang lewat begitu saja.

“Saya pasang bendera setengah tiang karena disuruh RT, bukan karena saya paham maknanya,” kata Siti, ibu rumah tangga di Lamongan. “Anak saya malah tanya, ‘Kenapa benderanya nggak penuh?’ Saya bingung jawabnya.”

Fenomena ini menunjukkan bahwa peringatan G30S/PKI telah kehilangan daya gaungnya di tengah masyarakat. Tanpa narasi yang relevan dan menyentuh kehidupan nyata, ritual ini berisiko menjadi formalitas kosong.

Bagi keturunan PKI, peringatan ini adalah momen paling menyakitkan dalam setahun. Mereka kembali dihadapkan pada stigma, prasangka, dan pengucilan sosial yang diwariskan lintas generasi.

“Saya tidak tahu-menahu soal PKI. Tapi karena kakek saya dulu dituduh terlibat, saya tidak bisa jadi PNS,” ujar Darto, warga Blitar yang kini bekerja serabutan. “Setiap tahun, saya merasa seperti warga kelas dua.”

Stigma ini diperkuat oleh narasi peringatan yang tidak memberi ruang bagi rekonsiliasi. Alih-alih menjadi ajang pemulihan luka sejarah, peringatan G30S/PKI justru memperkuat dikotomi “kami” dan “mereka” yang merusak semangat kebangsaan.

Salah satu tokoh yang berani menantang narasi resmi adalah Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur menyuarakan pentingnya rekonsiliasi dan penghapusan diskriminasi terhadap keturunan PKI.

“Di antara orang-orang yang terbunuh itu banyak yang tidak bersalah apa-apa,” ujar Gus Dur dalam pertemuan dengan LSM di Paris pada 1995. Ia bahkan mengakui bahwa sebagian pelaku pembantaian berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi yang pernah ia pimpin.

Pada tahun 1999, saat menjabat sebagai Presiden, Gus Dur menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada para eksil politik dan tahanan G30S. Ia memerintahkan pemulihan hak-hak mereka dan berupaya mencabut TAP MPRS No. XXV/1966 yang melarang PKI dan ajaran komunisme.

“Kalau mau betul rekonsiliasi, dasarnya harus Pancasila, UUD 45, dan prinsip kewarganegaraan,” tegas Gus Dur dalam sebuah diskusi yang dikutip NU Online. Ia menekankan bahwa negara tidak boleh melindungi satu kelompok saja, melainkan seluruh elemen bangsa.

Upaya Gus Dur mencabut TAP MPRS No. XXV/1966 menuai kontroversi. Banyak politisi menentangnya, termasuk Yusril Ihza Mahendra yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Namun, Gus Dur tetap pada pendiriannya bahwa pelarangan ajaran tidak boleh berujung pada diskriminasi terhadap keturunan.

Belakangan, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa juga menyatakan bahwa keturunan PKI tidak boleh dilarang mengikuti seleksi prajurit. “Yang dilarang itu adalah PKI, bukan keturunannya,” tegas Andika.

Pernyataan ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma di kalangan elite militer dan hukum, meski di tingkat akar rumput stigma masih kuat.

Para akademisi dan pendidik mulai mendorong pendekatan baru dalam pendidikan sejarah. Mereka menekankan pentingnya membuka ruang diskusi, menghadirkan berbagai perspektif, dan menghindari glorifikasi narasi tunggal.

“Sejarah bukan untuk membenarkan masa lalu, tapi untuk memahami dan memperbaiki masa depan,” ujar Dr. Ayu Larasati, dosen sejarah di Universitas Indonesia. “Kita harus berani mengajarkan bahwa kebenaran sejarah itu kompleks dan kadang menyakitkan.”

Peringatan G30S/PKI seharusnya menjadi momentum untuk membuka ruang dialog yang jujur dan inklusif. Sejarah tidak boleh menjadi alat politik yang membungkam, melainkan jendela untuk memahami masa lalu secara utuh dan membangun masa depan yang lebih adil.

Jika bangsa ini ingin benar-benar berdamai dengan sejarahnya, maka kita harus berani meninjau ulang cara kita mengenang. Termasuk memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini dibungkam.

Artikel ini disusun sebagai refleksi atas peringatan G30S/PKI tahun 2025, dengan harapan dapat membuka ruang diskusi yang sehat dan berimbang di tengah masyarakat.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *