DELIKJATIM86.Com/LAMONGAN – Ketika UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Budaya Takbenda milik Indonesia pada 2 Oktober 2009, dunia seolah mengakui bahwa batik adalah milik sah bangsa Indonesia. Pengakuan ini menjadi tonggak penting dalam diplomasi budaya Indonesia, sekaligus simbol kebanggaan nasional. Namun, di balik euforia tersebut, muncul pertanyaan yang lebih mendalam dan filosofis: apakah Indonesia benar-benar pemilik batik secara historis dan politis? Ataukah batik hanyalah warisan budaya dari kerajaan kuno yang wilayah kekuasaannya melampaui batas negara modern?
Pertanyaan ini tidak sekadar mempertanyakan legalitas administratif, tetapi menyentuh akar dari identitas budaya, kontinuitas sejarah, dan hak kolektif atas warisan peradaban.
Kerajaan Majapahit, yang mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-14, dikenal sebagai kekuatan maritim dan politik terbesar di Asia Tenggara. Wilayah kekuasaannya mencakup sebagian besar Nusantara, termasuk wilayah yang kini menjadi bagian dari Malaysia, Brunei, Singapura, dan Filipina. Dalam konteks ini, batik sebagai produk budaya Majapahit tidak bisa diklaim secara eksklusif oleh Indonesia.
Motif batik Majapahit seperti Surya Majapahit, kala makara, dan ragam flora fauna masih ditemukan di wilayah Mojokerto dan Trowulan, pusat kerajaan kuno tersebut. Namun, jejak budaya Majapahit juga menyebar ke Semenanjung Melayu, di mana masyarakat lokal mengembangkan bentuk tekstil bermotif yang menyerupai batik
Indonesia memang menjadi pelestari utama batik. Melalui diplomasi budaya, pendidikan, dan industri kreatif, batik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, jika ditinjau dari sudut pandang sejarah dan filsafat kepemilikan budaya, klaim eksklusif atas batik menjadi problematis.
Dalam filsafat budaya, ada perbedaan antara warisan yang dijaga dan warisan yang dimiliki. Menjaga tidak selalu berarti memiliki. Indonesia menjaga batik, tetapi apakah ia memiliki hak eksklusif atasnya?
Seorang peneliti budaya dari ISI Surakarta menyatakan, “UNESCO menilai dari siapa yang menjaga, bukan siapa yang menciptakan. Tapi dalam kasus Majapahit, pencipta dan penjaga bisa jadi bukan entitas yang sama.” Pernyataan ini menyoroti dilema antara legitimasi budaya dan kepemilikan historis
UNESCO menetapkan warisan budaya takbenda berdasarkan praktik yang masih hidup dan dijaga oleh komunitas lokal. Dalam hal ini, Indonesia memang unggul: batik tidak hanya diproduksi secara masif, tetapi juga dijadikan simbol nasional dan identitas budaya. Namun, pendekatan ini mengabaikan asal-usul historis dan geopolitik dari budaya tersebut.
Filsuf budaya seperti Edward Said pernah mengkritik cara institusi global memaknai budaya sebagai sesuatu yang statis dan terikat pada negara. Dalam konteks batik, pendekatan UNESCO bisa dianggap sebagai bentuk essentialisme budaya, di mana warisan budaya dikunci dalam batas negara modern, padahal sejarahnya jauh lebih cair dan kompleks.
Malaysia beberapa kali mengklaim batik, wayang kulit, dan gamelan sebagai bagian dari budayanya. Klaim ini sering ditentang oleh Indonesia, yang merasa memiliki legitimasi budaya lebih kuat. Namun, jika ditinjau dari sudut pandang sejarah Majapahit, klaim Malaysia tidak sepenuhnya tanpa dasar.
Dalam analisis mendalam tentang klaim budaya, disebutkan bahwa Malaysia menggunakan argumen penyebaran budaya Majapahit sebagai dasar klaim. Meskipun adaptasi lokal berbeda dari teknik batik tulis Indonesia, keberadaan batik cap dan printing di Malaysia menunjukkan bahwa warisan Majapahit memang melintasi batas negara.
Dalam filsafat, konsep kepemilikan budaya tidak bisa dipisahkan dari identitas kolektif dan kontinuitas sejarah. Jika batik adalah hasil dari proses budaya yang berkembang dalam masyarakat Majapahit, maka hak atas batik seharusnya bersifat multinasional, bukan eksklusif.
Filsuf Prancis, Michel Foucault, menyatakan bahwa kekuasaan atas pengetahuan dan budaya sering kali ditentukan oleh siapa yang memiliki kontrol atas narasi. Dalam hal ini, Indonesia berhasil menguasai narasi batik di panggung internasional, tetapi narasi itu bukan satu-satunya versi yang sah.
> “Budaya bukan milik negara, tapi milik manusia yang menghidupinya.” – Anonim Budayawan Jawa Timur
>
—
Jika Majapahit adalah kerajaan yang wilayahnya meliputi Indonesia dan Malaysia, maka warisan budayanya—termasuk batik dan wayang kulit—seharusnya dipandang sebagai milik bersama kawasan Asia Tenggara. Klaim eksklusif oleh satu negara berisiko mengabaikan kompleksitas sejarah dan mempersempit ruang dialog budaya.
Dalam konteks ini, UNESCO seharusnya mempertimbangkan pendekatan multinasional terhadap warisan budaya yang berasal dari kerajaan kuno. Seperti halnya warisan Romawi di Eropa atau warisan Ottoman di Timur Tengah, warisan Majapahit seharusnya tidak dikunci dalam batas negara modern.
Batik adalah warisan budaya yang kaya, indah, dan penuh makna. Namun, klaim kepemilikan atasnya tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah Majapahit yang melintasi batas negara. Indonesia memang menjadi pelestari utama batik, tetapi bukan berarti ia satu-satunya pemilik sah.
(Red)