DELIKJATIM86.COM//Lamongan, 30 Agustus 2025–Paguyuban Budaya Wilwatikta Nusantara kembali menggelar acara Sarasehan Budaya Jumat Kliwonan yang rutin diselenggarakan setiap bulan. Kali ini, acara yang berlangsung di pemakaman Dewi Andongsari (Ibu Patih Gajah Mada) di Gunung Ratu Ngimbang Lamongan, mengambil tema menarik dari tembang dandang gulo “Semut Ireng Anak-anak Sapi”.
“Semut ireng anak-anak sapi
Kebo bungkang anyabrang bengawan
Keong gondhang crak sungute
Timun wuku ron wolu
Surabaya geger kepati
Geger wong ngoyak macan
Den wadhahi bumbung
Alun-alun Kartasura
Gajah meta cinancang wit sidaguri
Mati cineker ayam” Lirik Tembang Dandhang Gula
Ki Solokin Surya Atmaja, narasumber utama, mengupas tuntas makna tembang Semut Ireng. Dalam refleksinya, tembang ini menggambarkan kisah perjuangan dan persatuan rakyat Indonesia yang tergabung dalam Partai Nasional Indonesia (PNI). Semut Ireng melambangkan kaum pribumi yang bersatu, sementara kepala sapi/banteng menjadi lambang solidaritas dan keberanian rakyat dalam menuntut kemerdekaan.
Tembang dandang gulo ini bukan sekadar lagu rakyat biasa. Melalui bait-baitnya, terselip pesan sejarah perjuangan bangsa, mulai dari kedatangan Belanda yang lambat namun pasti memperbudak bangsa, hingga perlawanan heroik di Surabaya dan Kartasura. Pemaknaan kias ini menjadi strategi para seniman dan budayawan agar semangat perjuangan tetap hidup tanpa mudah diketahui oleh penjajah.
Pembicara kedua, Mbah Pratekto, menegaskan pentingnya menggali jati diri anak bangsa. Ia mengajak peserta memahami pergulatan batin manusia melalui simbol pertempuran antara tokoh Pandawa dan Kurawa, serta menjaga diri dari sifat “butho” yang mencerminkan hawa nafsu negatif seperti tamak dan tidak jujur. Dalam renungannya, kepala mewakili akal yang didampingi empat sahabat indera: telinga, mata, hidung, dan mulut.
Mbah Pratekto menekankan bahwa tugas manusia tidak hanya belajar secara lahiriah, tetapi juga mengasah hati dan budi pekerti. Ia mengingatkan pepatah bijak “Mujo ati bakal mukti” (beruntung hati, maka bahagia hidup) sebagai pegangan dalam menata perilaku dan menjalin harmoni sosial. Meski kadang terjadi silang pendapat, tidak boleh sampai silang hati yang memecah persatuan.
Acara sarasehan ditutup dengan penyerahan bibit pohon kacang PB (Pejuang Budaya) sebagai simbol keberlangsungan dan kesehatan. kacang yang bermanfaat sebagai makanan sekaligus obat herbal. Bibit ini mengingatkan para pelaku budaya untuk menjaga keseimbangan antara lahir dan batin, raga dan jiwa, serta terus bergerak maju meskipun perlahan dan penuh ketekunan.
Sarasehan Budaya Jumat Kliwonan bukan sekadar pertemuan kebudayaan, melainkan sebuah ruang refleksi dan penguatan semangat kebangsaan yang sarat makna. Melalui tembang dan tradisi leluhur, PB Wilwatikta Nusantara mengajak masyarakat luas untuk terus merawat akar budaya demi masa depan bangsa yang lebih harmonis dan berwawasan.
Penulis Makruf