Ragam  

Pancasila dan Luka Sejarah: Menolak Diskriminasi, Merawat Kemanusiaan

admin
Brnews 01102025103604

DELIKJATIM86.Com/LAMONGAN – Setiap 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini lahir dari tragedi nasional Gerakan 30 September 1965 (G30S), yang menewaskan tujuh perwira tinggi TNI AD dan mengguncang stabilitas negara. Dalam narasi resmi, Pancasila tampil sebagai benteng ideologis yang berhasil bertahan dari ancaman komunisme. Namun, di balik peringatan ini, tersimpan babak sejarah yang jarang dibicarakan: diskriminasi sistematis terhadap keturunan mereka yang dituduh terlibat dalam peristiwa kelam tersebut.

Pasca G30S, pemerintah Orde Baru menetapkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang melarang keberadaan dan penyebaran ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme. Meski larangan tersebut ditujukan kepada organisasi dan ideologi, dalam praktiknya, stigma dan pembatasan juga diberlakukan terhadap anak cucu eks anggota PKI. Mereka dilarang mengikuti seleksi TNI, dibatasi dalam akses pendidikan dan pekerjaan, serta dijauhkan dari ruang politik dan pemerintahan.

Penelitian dari Universitas Padjadjaran dan laporan Komnas HAM menunjukkan bahwa eks tahanan politik PKI dan keturunannya mengalami diskriminasi formal di berbagai sektor: sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Mereka tidak hanya kehilangan hak-hak dasar sebagai warga negara, tetapi juga mengalami pengasingan sosial yang diwariskan lintas generasi.

Langkah berani muncul pada tahun 2022 ketika Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menghapus syarat larangan keturunan PKI dalam seleksi prajurit. Ia menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum untuk melarang seseorang bergabung dengan TNI hanya karena latar belakang keluarganya. “Kita tidak bisa menghukum orang karena dosa masa lalu yang bukan miliknya,” tegasnya dalam rapat penerimaan prajurit.

Sejarawan Asvi Warman Adam juga mengkritik narasi tunggal Orde Baru yang menyudutkan PKI sebagai dalang tunggal G30S. Ia menekankan pentingnya membuka ruang bagi penafsiran sejarah yang lebih adil dan inklusif, agar bangsa ini tidak terus-menerus terjebak dalam trauma dan dendam. Dalam wawancaranya dengan berbagai media, Asvi menyatakan bahwa rekonsiliasi nasional tidak akan tercapai jika diskriminasi terhadap keturunan eks-PKI terus dipertahankan.

Pancasila, sebagai dasar negara, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Jika ideologi ini benar-benar sakti, maka ia harus mampu melindungi seluruh warga negara—termasuk mereka yang lahir dari sejarah yang kelam. Kesaktian Pancasila tidak terletak pada pelarangan atau penumpasan, tetapi pada kemampuannya merangkul dan menyembuhkan.

Diskriminasi terhadap keturunan eks-PKI bertentangan dengan semangat Pancasila dan prinsip hak asasi manusia. Dalam era reformasi, sudah saatnya bangsa ini berani berdamai dengan masa lalu. Bukan dengan melupakan, tetapi dengan memanusiakan. Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang menyimpan dendam, melainkan bangsa yang mampu menyembuhkan luka sejarah dengan kasih dan kebijaksanaan.

Hari Kesaktian Pancasila seharusnya menjadi titik balik: dari peringatan tragedi menuju perayaan kemanusiaan. Dari narasi pengkhianatan menuju dialog dan pemulihan. Dari ketakutan terhadap masa lalu menuju keberanian membangun masa depan yang inklusif.

Indonesia tidak akan benar-benar merdeka jika masih ada anak bangsa yang diperlakukan sebagai warga kelas dua. Rekonsiliasi sejati hanya bisa terjadi jika semua warga negara, tanpa kecuali, diakui haknya untuk hidup, berkembang, dan berkontribusi bagi negeri ini. Oleh: Ade R.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *